Minggu, 28 Oktober 2012

Semangat Sumpah Pemuda : Semangat Pustakawan Muda

Ketika membaca ulang salah satu tulisan Pak Putu Laxman Pendit, mengingatkan saya kembali ketika sedang mencari inspirasi untuk memulai membuat tugas akhir berupa skripsi, isi tulisannya sebagai berikut :


Bidang ini seringkali dilihat sebagai sekumpulan kegiatan praktis yang mengandung serangkaian aktivitas prosedural untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kongkrit, sehingga hal-hal yang teoritis dianggap kurang perlu. Pandangan seperti ini sudah amat lama terjadi, sebagaimana dikeluhkan oleh Pierce Butler yang menulis lebih dari 70 tahun yang lalu: 
"…the librarian is strangely uninterested in the theoretical aspects of his profession….The librarian apparently stands alone in the simplicity of his pragmatism: a rationalization of each immediate technical process by itself seems to satisfy his intellectual interest. Indeed any endeavor to generalize these rationalizations into a professional philosophy appears to him, not merely futile, but positively dangerous." (Butler, 1933; xi-xii).
Sebenarnya ketidak-tertarikan pustakawan pada aspek teoritis tidaklah mengherankan. Dalam kegiatan sehari-hari, pustakawan lebih memerlukan catatan petunjuk kerja (manual) atau catatan prosedural untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Buku-buku petunjuk, misalnya AACR untuk melakukan pengatalogan dan DDC untuk menetapkan nomor klasifikasi, lebih dianggap diperlukan dalam pekerjaan sehari-hari. Kegiatan lain, seperti pelayanan rujukan atau sirkulasi, lebih banyak dilakukan berdasarkan pengalaman “turun temurun” (yang mungkin tercatat, dan mungkin juga tidak) di kalangan pustakawan. Dari keadaan inilah, seringkali pendidikan profesi pustakawan juga tak terlalu merasa perlu menyentuh teori atau bahkan tak perlu berlandaskan ilmu. 

Lebih dari satu dekade yang lalu, Biggs sudah menyinggung hal ini dan menegaskan (atau mungkin menggerutu) bahwa ”ilmu perpustakaan” tak pernah ada, melainkan yang ada adalah ”kepustakawanan” (librarianships). Ia mengambil posisi lebih tegas karena berkonsentrasi pada produk sekolah-sekolah IP&I yang memang bertujuan menghasilkan para pustakawan sebagai pekerja di perpustakaan. Menurutnya, 
Librarianship (I have never felt comfortable calling it library "science") is not a discipline, nor has it the potential to become one. (…) There is no unified science, no discipline; therefore, the field does not yield theory or attract many theorists or scientists or even very many serious intellectuals (1991 : 192).
Biggs mengatakan, kepustakawanan adalah sebuah “professional study”, bukan sebuah “academic discipline” karena hanya berkonsentrasi pada persoalan-persoalan teknis yang membutuhkan solusi-solusi teknis pula. Memang, untuk memecahkan persoalan tersebut kadang-kadang diperlukan berbagai ilmu dan teori, mulai dari ekonomi, sosiologi, psikologi, matematik, ilmu komputer, linguistik (untuk klasifikasi dan analisis isi buku, misalnya), sejarah, ilmu hukum (misalnya untuk persoalan hak cipta), manajemen, ilmu politik, fisafat, sampai kimia (misalnya untuk persoalan pelestarian bahan pustaka). Namun, menurut Biggs, pustakawan tak perlu menjadi ilmuwan dari berbagai cabang ilmu tersebut, dan perpustakaan hanyalah objek bagi ilmu-ilmu tersebut, sama halnya dengan rumah sakit dan segala kegiatan di dalamnya adalah objek dari berbagai ilmu (mulai dari manajemen, ilmu hukum, sampai ilmu gizi). Sebab itulah pustakawan sering tak merasa perlu mempersoalkan teori dan ilmu, karena toh mereka hanya mempraktikkan apa yang sudah diteliti atau dikembangkan oleh berbagai ilmu lain. 

Keadaan di Indonesia tak jauh berbeda dari sinyalemen Biggs di atas. Kajian yang dilakukan oleh Laksmi dan Wijayanti (2012) memperlihatkan betapa miskinnya penelitian IP&I di kalangan akademisi dan praktisi perpustakaan. Kalaupun ada penelitian, penekanannya lebih kepada pemecahan masalah-masalah teknis, khususnya dalam hal pengembangan dan pengelolaan koleksi. Banyak pula kajian yang dilakukan hanya sebagai evaluasi terhadap efisiensi kerja dan efektivitas layanan perpustakaan. Ini tak terlalu mengherankan, sebab tujuan utama dari pendidikan profesionalisme pustakawan di Indonesia memang adalah menghasilkan tenaga-tenaga trampil yang siap bekerja.

Pada waktu saya sedang mencari ide-ide untuk tugas akhir saya, masa-masa tersebut adalah masa dimana pikiran terbagi dua. Antara pikiran ingin menulis apa dan pikiran yang sedikit meracau, setelah lulus nanti saya akan jadi apa? Mungkin tidak heran dua pikiran tersebut sangatlah lazim ditemukan pada mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir nanggung pada masa kini. Karena tak lain adalah sebuah kebiasaan masyarakat kita yang selalu bertanya pada mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir tentang, kapan lulus, kalau sudah lulus nanti mau kerja apa? Nah, hal-hal seperti itulah yang kian marak menggelayuti mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir.

Terkait dengan tulisan tersebut, saya kembali merefleksikan saat saya menemukan ide, tentang judul skripsi yang mungkin menurut dosen-dosen di jurusan (sekarang sudah ganti Departemen) saya dulu kuliah agak sedikit nyeleneh. Dan sayang nya saya baru membaca tulisan pak putu tentang penekanan budaya penelitian dan pemikiran-pemikiran para peneliti di Indonesia khususnya di Bidang IP&I ini lebih ke ranah kajian-kajian teknis yang bersifat evaluasi prosedural. Lebih ke arah kajian-kajian "Apakah sudah sesuai standar?", "Bagaimana Standar ini dan itu dapat diterapkan di perpustakaan anu?". Sehingga, ketika saya berkunjung ke perpustakaan yang dikhususkan untuk koleksi skripsi, thesis,disertasi dari fakultas saya. Saya kembali melihat betapa banyaknya tema-tema seperti efektivitas jasa layanan, efektivitas temu kembali informasi, peran jasa layanan, pengaruh sistem otomasi dalam proses temu balik, dan masih banyak lainnya yang menunjukan memang betul ini lebih mengarah kepada kajian-kajian untuk menguji sebuah langkah prosedural, bukan sebuah kajian pemaknaan dari sebuah kaidah keilmuan.

Dan pada akhirnya saya memilih untuk mengambil tema evaluasi dalam ranah kualitatif tentang sistem teknologi, yang menurut saya penelitian menggunakan pendekatan kualitatif adalah sebuah penelitian yang memang bukan untuk menekankan kepada aspek pengujian sesuatu, tetapi lebih kepada mendalami makna yang terkandung dalam sebuah fenomena dari yang sedang kita akan teliti. Nah, kembali dengan mengusung tema tersebut terjadilah banyak pertanyaan, " kok evaluasi pake pendekatan kualitatif?", "kalo pake pendekatan kualitatif, berarti gak ada indikatornya donk?",dan berbagai macam pertanyaan lainnya yang memberikan kesan kalau evaluasi itu harus kuantitatif. Selain itu pula, sebuah teknologi yang dikaji secara kualitatif pada era saat ini sudah berkembang seperti adanya aliran sosio-teknis, dan metode penelitian dari segi hard system dan soft system yang diterapkan pada mahasiswa-mahasiswa informatika. Mungkin poin-poin tersebut yang tertuang dalam tulisan Pak Putu yang telah saya kutip diatas. Disana tertulis bahwa pustakawan itu adalah sebuah profesi yang mengandung unsur teknis prosedural, yang semua kegiatan-kegiatannya diatur berdasarkan prosedur atau tata baku yang sudah ter pola, sehingga tidak usah lah pustakawan masuk ke dalam ranah teoritis. Sehingga terkesan kita ini tidak di beri kepentingan untuk mengkaji lebih lanjut tentang aspek-aspek keilmuan dan mengembangkan teori.

Dalam tulisan tersebut perpustakaan hanyalah sebuah objek dari ilmu tersebut, jadi tidak usah pusing-pusing mempersoalkan teori dan ilmu, karena perpustakaan sendiri hanya mempraktekan apa yang sudah diteliti. Dan hal tersebut diperkuat dalam penelitian yang di lakukan (juga tertulis dalam kutipan diatas). Mungkin, hal itu pula yang menjadikan keberagaman penelitian-peneltian yang dihasilkan oleh para lulusan sekolah perpustakaan, terlalu terbelenggu untuk mengikuti ini dan itu. Dan alhasil pustakawan-pustakawan ini tidak memiliki semangat perkembangan karena lulus untuk menguji sebuah kegiatan teknis berdasarkan kesempurnaan prosedural semata, dan hanya mengikuti sistem yang ada, bukan berpikir di luar sistem. Dan pada akhirnya, sampai kapan plot aliran sistem itu terkunci dan hanya menelurkan kebudayaan teknis prosedural, juga sampai kapan pula Pustakawan-pustakawan itu beralih untuk menekuni keperpustakaan dan tidak memalingkan mata lagi, agar terjadi sebuah pergerakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

semoga menjadi sesosok inspirasi dalam hidup anda

WARNING !!

PLAGIAT ADALAH TINDAKAN YANG BISA MENDAPATKAN SANKSI BACA SENDIRI UU RI No 19 TAHUN 2002 BAB XIII Ketentuan Pidana Pasal 72, APABILA MAU MENGOPI-PASTE TULISAN DISINI GUNAKAN SITASI YANG BAIK DAN BENAR