Rabu, 31 Oktober 2012

Elegi Diorama 3 Hal.

Pemikiran ini sepenuhnya hanya melintas begitu cepat, tetapi menurut saya sangatlah berharga untuk dituliskan. Ini tentang hidup, yah isi blog saya mayoritas bersubjek hidup. Wajarlah maklum sarjana muda, seorang angsa buruk rupa, kelabu yang sudah berani bermimpi untuk menjadi seekor angsa putih. Tulisan ini pun sedikit bernada harapan, hanya kiranya janganlah dikira sombong. Karena ini hanyalah tulisan, yang mengandung sebuah makna jiwa yang berputar-putar di kepala, daripada terbuang lebih baik kutuliskan disini, siapa tahu berharga.

Hidup sebagai Pekerja saya mulai ketika bekerja di Jakarta, bekerja di sebuah kantor konsultan hukum dengan label pustakawan hukum di tangan. Sungguh bangga seorang sarjana baru langsung bekerja dan mendapatkan segenggam uang hasil keringat sendiri yang cukup. Hal tersebut sangatlah membuat bangga bagi pemuda kampung seperti saya, pemuda kampung yang masih haus akan pengalaman-pengalaman. Karena dahulu sejak di kampung untuk bermain ke Mall pun susah, yang ada hanya menari-nari bersama itik dan membelai lembut batang-batang padi.

Mungkin ini adalah sebuah jejak pengalaman yang tak terkira, memakai kemeja necis bercelana bahan licin, dan bersepatu pantofel mengkilat laksana eksekutif muda yang gambarnya selalu terpampang dalam baner-baner iklan di sebuah pusat perbelanjaan. Sangat elegan, dan menandakan berpendidikan. Tetapi disudut rasa lain, saya mulai jengah dengan pakaian ini, saya merasakan sebuah kegelisahan sendiri, sebuah bentuk kapitalisme atau penjajahan pada diri sendiri. Baju dan celana lengkap dengan sepatu yang saya kenakan menandakan bahwa saya memiliki sebuah keterbatasan yang sangat hakiki. Walaupun di sudut lain ketiga hal tersebut menandakan bahwa saya seorang pekerja, berangkat pagi pulang petang memiliki segudang kesibukan dan memiliki kasta sendiri diatas pengangguran.

Entah kenapa saya kembali berpikir untuk mengenakan kaos rombeng lusuh, celana jeans, dan bersepatu kets, kembali ke pada masa pemikiran ini masih bergejolak pada mimpi-mimpi yang masih jauh dari namanya realitas. Bernostalgia, bercumbu mesra dengan suasana tersebut, suasana dimana masih bisa berpikir bebas tentang banyak hal, masih bisa bergumam tentang hirarki ketidakidealan, sangat berbeda dengan sekarang. Walaupun romantisme dunia mahasiswa sebentar lain akan hinggap di depan mata, tetapi pemikiran saya merasakan hal itu mungkin nantinya akan lebih jauh statis dan tidak berdinamisasi, juga apakah masih akan berpikir secara mendalam tentang hyper realitas, tentang kedinamisan dunia kampus.

Melihat mahasiswa baru sekarang pun, rasa nya saya tidak melihat sosok yang dahulu ketika saya masuk dunia kemahasiswa memiliki rasa semangat juang, memiliki beban tanggung jawab moral, dan sebuah harapan semu dari orang rumah. Dimana kita merupakan pucuk-pucuk harapan mereka kelak. Betul, tetapi inilihan hidup, hidup penuh makna, hidup penuh kalkulasi, tinggal bagaimana kita merasa, melihat dan mendengar. Jalani dengan syahdu dan penuh rasa syukur.

Minggu, 28 Oktober 2012

Semangat Sumpah Pemuda : Semangat Pustakawan Muda

Ketika membaca ulang salah satu tulisan Pak Putu Laxman Pendit, mengingatkan saya kembali ketika sedang mencari inspirasi untuk memulai membuat tugas akhir berupa skripsi, isi tulisannya sebagai berikut :


Bidang ini seringkali dilihat sebagai sekumpulan kegiatan praktis yang mengandung serangkaian aktivitas prosedural untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kongkrit, sehingga hal-hal yang teoritis dianggap kurang perlu. Pandangan seperti ini sudah amat lama terjadi, sebagaimana dikeluhkan oleh Pierce Butler yang menulis lebih dari 70 tahun yang lalu: 
"…the librarian is strangely uninterested in the theoretical aspects of his profession….The librarian apparently stands alone in the simplicity of his pragmatism: a rationalization of each immediate technical process by itself seems to satisfy his intellectual interest. Indeed any endeavor to generalize these rationalizations into a professional philosophy appears to him, not merely futile, but positively dangerous." (Butler, 1933; xi-xii).
Sebenarnya ketidak-tertarikan pustakawan pada aspek teoritis tidaklah mengherankan. Dalam kegiatan sehari-hari, pustakawan lebih memerlukan catatan petunjuk kerja (manual) atau catatan prosedural untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Buku-buku petunjuk, misalnya AACR untuk melakukan pengatalogan dan DDC untuk menetapkan nomor klasifikasi, lebih dianggap diperlukan dalam pekerjaan sehari-hari. Kegiatan lain, seperti pelayanan rujukan atau sirkulasi, lebih banyak dilakukan berdasarkan pengalaman “turun temurun” (yang mungkin tercatat, dan mungkin juga tidak) di kalangan pustakawan. Dari keadaan inilah, seringkali pendidikan profesi pustakawan juga tak terlalu merasa perlu menyentuh teori atau bahkan tak perlu berlandaskan ilmu. 

Lebih dari satu dekade yang lalu, Biggs sudah menyinggung hal ini dan menegaskan (atau mungkin menggerutu) bahwa ”ilmu perpustakaan” tak pernah ada, melainkan yang ada adalah ”kepustakawanan” (librarianships). Ia mengambil posisi lebih tegas karena berkonsentrasi pada produk sekolah-sekolah IP&I yang memang bertujuan menghasilkan para pustakawan sebagai pekerja di perpustakaan. Menurutnya, 
Librarianship (I have never felt comfortable calling it library "science") is not a discipline, nor has it the potential to become one. (…) There is no unified science, no discipline; therefore, the field does not yield theory or attract many theorists or scientists or even very many serious intellectuals (1991 : 192).
Biggs mengatakan, kepustakawanan adalah sebuah “professional study”, bukan sebuah “academic discipline” karena hanya berkonsentrasi pada persoalan-persoalan teknis yang membutuhkan solusi-solusi teknis pula. Memang, untuk memecahkan persoalan tersebut kadang-kadang diperlukan berbagai ilmu dan teori, mulai dari ekonomi, sosiologi, psikologi, matematik, ilmu komputer, linguistik (untuk klasifikasi dan analisis isi buku, misalnya), sejarah, ilmu hukum (misalnya untuk persoalan hak cipta), manajemen, ilmu politik, fisafat, sampai kimia (misalnya untuk persoalan pelestarian bahan pustaka). Namun, menurut Biggs, pustakawan tak perlu menjadi ilmuwan dari berbagai cabang ilmu tersebut, dan perpustakaan hanyalah objek bagi ilmu-ilmu tersebut, sama halnya dengan rumah sakit dan segala kegiatan di dalamnya adalah objek dari berbagai ilmu (mulai dari manajemen, ilmu hukum, sampai ilmu gizi). Sebab itulah pustakawan sering tak merasa perlu mempersoalkan teori dan ilmu, karena toh mereka hanya mempraktikkan apa yang sudah diteliti atau dikembangkan oleh berbagai ilmu lain. 

Keadaan di Indonesia tak jauh berbeda dari sinyalemen Biggs di atas. Kajian yang dilakukan oleh Laksmi dan Wijayanti (2012) memperlihatkan betapa miskinnya penelitian IP&I di kalangan akademisi dan praktisi perpustakaan. Kalaupun ada penelitian, penekanannya lebih kepada pemecahan masalah-masalah teknis, khususnya dalam hal pengembangan dan pengelolaan koleksi. Banyak pula kajian yang dilakukan hanya sebagai evaluasi terhadap efisiensi kerja dan efektivitas layanan perpustakaan. Ini tak terlalu mengherankan, sebab tujuan utama dari pendidikan profesionalisme pustakawan di Indonesia memang adalah menghasilkan tenaga-tenaga trampil yang siap bekerja.

Pada waktu saya sedang mencari ide-ide untuk tugas akhir saya, masa-masa tersebut adalah masa dimana pikiran terbagi dua. Antara pikiran ingin menulis apa dan pikiran yang sedikit meracau, setelah lulus nanti saya akan jadi apa? Mungkin tidak heran dua pikiran tersebut sangatlah lazim ditemukan pada mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir nanggung pada masa kini. Karena tak lain adalah sebuah kebiasaan masyarakat kita yang selalu bertanya pada mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir tentang, kapan lulus, kalau sudah lulus nanti mau kerja apa? Nah, hal-hal seperti itulah yang kian marak menggelayuti mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir.

Terkait dengan tulisan tersebut, saya kembali merefleksikan saat saya menemukan ide, tentang judul skripsi yang mungkin menurut dosen-dosen di jurusan (sekarang sudah ganti Departemen) saya dulu kuliah agak sedikit nyeleneh. Dan sayang nya saya baru membaca tulisan pak putu tentang penekanan budaya penelitian dan pemikiran-pemikiran para peneliti di Indonesia khususnya di Bidang IP&I ini lebih ke ranah kajian-kajian teknis yang bersifat evaluasi prosedural. Lebih ke arah kajian-kajian "Apakah sudah sesuai standar?", "Bagaimana Standar ini dan itu dapat diterapkan di perpustakaan anu?". Sehingga, ketika saya berkunjung ke perpustakaan yang dikhususkan untuk koleksi skripsi, thesis,disertasi dari fakultas saya. Saya kembali melihat betapa banyaknya tema-tema seperti efektivitas jasa layanan, efektivitas temu kembali informasi, peran jasa layanan, pengaruh sistem otomasi dalam proses temu balik, dan masih banyak lainnya yang menunjukan memang betul ini lebih mengarah kepada kajian-kajian untuk menguji sebuah langkah prosedural, bukan sebuah kajian pemaknaan dari sebuah kaidah keilmuan.

Dan pada akhirnya saya memilih untuk mengambil tema evaluasi dalam ranah kualitatif tentang sistem teknologi, yang menurut saya penelitian menggunakan pendekatan kualitatif adalah sebuah penelitian yang memang bukan untuk menekankan kepada aspek pengujian sesuatu, tetapi lebih kepada mendalami makna yang terkandung dalam sebuah fenomena dari yang sedang kita akan teliti. Nah, kembali dengan mengusung tema tersebut terjadilah banyak pertanyaan, " kok evaluasi pake pendekatan kualitatif?", "kalo pake pendekatan kualitatif, berarti gak ada indikatornya donk?",dan berbagai macam pertanyaan lainnya yang memberikan kesan kalau evaluasi itu harus kuantitatif. Selain itu pula, sebuah teknologi yang dikaji secara kualitatif pada era saat ini sudah berkembang seperti adanya aliran sosio-teknis, dan metode penelitian dari segi hard system dan soft system yang diterapkan pada mahasiswa-mahasiswa informatika. Mungkin poin-poin tersebut yang tertuang dalam tulisan Pak Putu yang telah saya kutip diatas. Disana tertulis bahwa pustakawan itu adalah sebuah profesi yang mengandung unsur teknis prosedural, yang semua kegiatan-kegiatannya diatur berdasarkan prosedur atau tata baku yang sudah ter pola, sehingga tidak usah lah pustakawan masuk ke dalam ranah teoritis. Sehingga terkesan kita ini tidak di beri kepentingan untuk mengkaji lebih lanjut tentang aspek-aspek keilmuan dan mengembangkan teori.

Dalam tulisan tersebut perpustakaan hanyalah sebuah objek dari ilmu tersebut, jadi tidak usah pusing-pusing mempersoalkan teori dan ilmu, karena perpustakaan sendiri hanya mempraktekan apa yang sudah diteliti. Dan hal tersebut diperkuat dalam penelitian yang di lakukan (juga tertulis dalam kutipan diatas). Mungkin, hal itu pula yang menjadikan keberagaman penelitian-peneltian yang dihasilkan oleh para lulusan sekolah perpustakaan, terlalu terbelenggu untuk mengikuti ini dan itu. Dan alhasil pustakawan-pustakawan ini tidak memiliki semangat perkembangan karena lulus untuk menguji sebuah kegiatan teknis berdasarkan kesempurnaan prosedural semata, dan hanya mengikuti sistem yang ada, bukan berpikir di luar sistem. Dan pada akhirnya, sampai kapan plot aliran sistem itu terkunci dan hanya menelurkan kebudayaan teknis prosedural, juga sampai kapan pula Pustakawan-pustakawan itu beralih untuk menekuni keperpustakaan dan tidak memalingkan mata lagi, agar terjadi sebuah pergerakan.

Rabu, 24 Oktober 2012

Kalkulasi Hidup : Cerminan Atau Sebuah Penolakan

Sore hari selepas pukul 17.00 dimana kerjaan sudah beres, saya pun membuka sebuah forum yang isinya hanya obrolan-obrolan ringan tapi terkadang informatif. Selintas page demi page saya buka, dan sampailah pada page kesekian dengan sebuah judul threads " 12 Hal yang Sebaiknya Anda Pelajari Saat 22 Tahun" saya akan coba mengkopi pastekan threads tersebut disini, entah kenapa saya pun enggan berkomentar dalam threads tersebut, tetapi hanya ingin menuliskan sedikiti sudut pandang dari ke-12 hal tersebut.

Waktu berlalu dengan cepat. Tampaknya baru kemarin kita berusia 12 tahun, sedang bermain sepeda di sekitar rumah. Saat berusia 22 tahun, banyak yang memutuskan untuk menikah dan berhenti sekolah, dan dengan uang pinjaman yang ada, banyak yang berpikir akan menjadi milioner saat berusia 30 tahun. Atau sejelek-jeleknya usia 35 tahun. Namun pada realitanya, segala sesuatu tidak berjalan semulus rencana.

Jika saat ini anda berusia 40 tahun, ada beberapa hal yang sebaiknya anda katakan kepada diri anda yang sedang berusia 22 tahun.

1. Selesaikan pendidikan anda.2. Uang tidak membusuk, simpanlah.3. Jangan beli rumah pertama yang anda lihat.4. Bangunlah sebuah kebiasaan untuk hidup sesuai anggaran.5. Belajarlah untuk ber-negosiasi dalam segala hal.6. Pastikan anda dilindungi asuransi kesehatan setiap saat.7. Waktu berkualitas di kantor memang penting, namun jumlah waktu anda di rumah-lah yang terpenting.8. Jangan dengarkan mereka yang mengatakan bahwa ada jalan singkat menuju kekayaan.
9. Pastikan pasangan anda memiliki nilai yang sama dengan diri anda.10. Belajar membangun jaringan.11. Never accept a job just because the pay is higher.12. Percaya, namun pastikan.
Sumber : klik

Dari beberapa poin-poin tersebut betapa sebuah poin kehidupan terlalu terkalkulasi dan terencana dengan matang, terkonsep dengan sebegitu indahnya sehingga memberikan kesan ke kakuan dalam menjalani, mengarungi dan merasakan makna yang sesungguhnya akan hidup. Tapi ada beberapa poin yang secara tidak sadar kita lakukan, ketika  kita menjalani hidup seperti hakikatnya seorang manusia yang tidak dapat hidup sendiri. Pada akhirnya ini adalah sebuah nasihat penting atau mungkin tips and trick bagi para freshgraduated seperti saya. Bagaimana dengan anda??

Jumat, 12 Oktober 2012

Mr.Commitment

Sebetulnya ini buku saya dapatkan dari rak-rak buku yang tidak terjamah di sebuah toko buku tidak ternama, dna juga berharga ditambah kortingan 15 %. Buku ini merupakan karya kedua dari Mike Gayle
Buku ini berkisah tentang seorang Ben Duffy yang menjalin hubungan dengan seorang wanita bernama Mel, sekilas membaca buku ini membuat kita semua dibawa ke sebuah kota di london dengan kesibukan orang-orang disana dari mulai bangun di pagi hari hingga aktivitas malam. Kenapa? karena pasangan ini memiliki dua latar belakang yang berbeda, Ben Duffy adalah seorang komedian (mungkin di indonesia dapat dikatakan Comic a.ka stand up comedy) yang setiap malam berpentas dari bar ke bar. Sedangkan Mel adalah seorang wanita yang bekerja full time di sebuah agensi periklanan.
Disaat kita mendalami kisah-kisah mereka kita pun di bawa kedalam sebuah hubungan bernuansa Eropa, kisah percintaan yang sungguh elegan, klasik namun penuh makna, hal tersebut ditunjukan dengan sebuah pengorbanan Duffy (begitu panggilan dalam novel tersebut) datang ke apartemen Mel hanya untuk melihat apakah kondisi Mel baik-baik saja setelah meminum Wine dan jus jeruk (masih kebayang ingin merasakan nya-jus jeruk campur wine). Setelah itu kita pun di bawa kedalam kisah percintaan yang modern ditunjukan dengan sebuah adegan seorang perempuan yang melamar laki-laki, apakah hal ini dikarenakan konsep emansipasi itu? Nah terlewat dari hal-hal percintaan, novel ini juga mengangkat sebuah ketakutan akan berkomitmen karena kejadian-kejadian yang dialami Duffy di masa lalu.
Tetapi tetap pada akhirnya sebuah novel sinetron cinta tetap ada pada posisi happy ending, tetapi Mike Gayle sangat pintar memberikan sebauh detail-detail yang membuat para pembaca berimajinasi, karena Mr Duffy selalu memberikan sebuah bayangan-bayangan tentang apa yang sedang dia lihat. Well, buku ini sangat cocok untuk seseorang yang menginginkan kisah cinta yang elegan namun klasik, dan pesan dari buku ini cintailah seseorang dengan tulus, karena hubungan yang lama tidak akan bisa berakhir sebagaimanapun usaha kamu mengakhirinya. 

WARNING !!

PLAGIAT ADALAH TINDAKAN YANG BISA MENDAPATKAN SANKSI BACA SENDIRI UU RI No 19 TAHUN 2002 BAB XIII Ketentuan Pidana Pasal 72, APABILA MAU MENGOPI-PASTE TULISAN DISINI GUNAKAN SITASI YANG BAIK DAN BENAR