Pemikiran ini sepenuhnya hanya
melintas begitu cepat, tetapi menurut saya sangatlah berharga untuk dituliskan.
Ini tentang hidup, yah isi blog saya mayoritas bersubjek hidup. Wajarlah maklum
sarjana muda, seorang angsa buruk rupa, kelabu yang sudah berani bermimpi untuk
menjadi seekor angsa putih. Tulisan ini pun sedikit bernada harapan, hanya
kiranya janganlah dikira sombong. Karena ini hanyalah tulisan, yang mengandung
sebuah makna jiwa yang berputar-putar di kepala, daripada terbuang lebih baik
kutuliskan disini, siapa tahu berharga.
Hidup sebagai Pekerja saya mulai ketika bekerja di Jakarta, bekerja di sebuah kantor konsultan hukum dengan label
pustakawan hukum di tangan. Sungguh bangga seorang sarjana baru langsung
bekerja dan mendapatkan segenggam uang hasil keringat sendiri yang cukup. Hal
tersebut sangatlah membuat bangga bagi pemuda kampung seperti saya, pemuda
kampung yang masih haus akan pengalaman-pengalaman. Karena dahulu sejak di
kampung untuk bermain ke Mall pun susah, yang ada hanya menari-nari bersama
itik dan membelai lembut batang-batang padi.
Mungkin ini adalah sebuah jejak
pengalaman yang tak terkira, memakai kemeja necis bercelana bahan licin, dan
bersepatu pantofel mengkilat laksana eksekutif muda yang gambarnya selalu
terpampang dalam baner-baner iklan di sebuah pusat perbelanjaan. Sangat elegan,
dan menandakan berpendidikan. Tetapi disudut rasa lain, saya mulai jengah
dengan pakaian ini, saya merasakan sebuah kegelisahan sendiri, sebuah bentuk
kapitalisme atau penjajahan pada diri sendiri. Baju dan celana lengkap dengan
sepatu yang saya kenakan menandakan bahwa saya memiliki sebuah keterbatasan
yang sangat hakiki. Walaupun di sudut lain ketiga hal tersebut menandakan bahwa
saya seorang pekerja, berangkat pagi pulang petang memiliki segudang kesibukan
dan memiliki kasta sendiri diatas pengangguran.
Entah kenapa saya kembali berpikir
untuk mengenakan kaos rombeng lusuh, celana jeans, dan bersepatu kets, kembali
ke pada masa pemikiran ini masih bergejolak pada mimpi-mimpi yang masih jauh
dari namanya realitas. Bernostalgia, bercumbu mesra dengan suasana tersebut,
suasana dimana masih bisa berpikir bebas tentang banyak hal, masih bisa bergumam
tentang hirarki ketidakidealan, sangat berbeda dengan sekarang. Walaupun
romantisme dunia mahasiswa sebentar lain akan hinggap di depan mata, tetapi
pemikiran saya merasakan hal itu mungkin nantinya akan lebih jauh statis dan
tidak berdinamisasi, juga apakah masih akan berpikir secara mendalam tentang
hyper realitas, tentang kedinamisan dunia kampus.
Melihat mahasiswa baru sekarang pun,
rasa nya saya tidak melihat sosok yang dahulu ketika saya masuk dunia
kemahasiswa memiliki rasa semangat juang, memiliki beban tanggung jawab moral,
dan sebuah harapan semu dari orang rumah. Dimana kita merupakan pucuk-pucuk
harapan mereka kelak. Betul, tetapi inilihan hidup, hidup penuh makna, hidup
penuh kalkulasi, tinggal bagaimana kita merasa, melihat dan mendengar. Jalani dengan
syahdu dan penuh rasa syukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
semoga menjadi sesosok inspirasi dalam hidup anda