Sabtu, 25 Februari 2012

Plagiarisme, Ide dan Kreativitas.

LIKE, Kata itu dapat diartikan “seperti” atau “menyukai” dalam bahasa indonesia. Kata itulah yang pertama kali saya baca di salah satu katalog dalam sebuah pembukaan pameran di sebuah space di salah satu bukit di kota bandung. Kembali saya memikirkan tentang karya-karya seniman yang memang dasarnya adalah sebuah seni yang memiliki originalitas tingkat tinggi, dan terkandung sebuah pemahaman yang hakiki serta makna yang sangat dalam.

Tetapi sungguh unik sekali salah satu seniman ini, beliau menjelaskan hasil karyanya merupakan sebuah metode pengadaptasian atau bahkan meniru, yang dia dorong ke permukaan dan dia jadikan sebagai bentuk kritik terhadap seni kontemporer (Ismail, 2012). Memang sangat menggelitik budaya tiru meniru, mengacu dan dalam ranah ilmiah disebut sebagai reference, apabila mengikuti berarti mengutip.


(Sumber : www.platform3.net/coming-soon.html)
Sebenarnya ide-ide kreatif dalam dunia kontemporer tidak lepas dari ide-ide lama yang dikupas kembali secara menarik dan dikemas ulang oleh manusia-manusia kontemporer sehingga menghasilkan sebuah ide yang sungguh segar dan menarik. Dan sebenarnya secara pendalaman pemikiran ide-ide yang bukan merupakan acauan, kutipan, maupun reference secara tidak langsung memiliki budaya mengacu. Kenapa saya sebut hal tersebut juga mengacu? Karena memang sudah jelas, ketika kita membuat suatu hal secara sadar maupun tak sadar kita sebelumnya melihat sesuatu yang mengacu kita untuk membuat “sebuah” ide yang muncul dari benak kita. Hal itu muncul dari melihat, merasa, mendengar, membicarakan, membaca.

Hanya saja permasalahan yang ada adalah budaya ini dapat terlihat positif dan dapat terlihat negatif, bagaimana manusia kontemporer itu sendiri mengemasnya menjadi sebuah bahan positif maupun negatif. Karena memang pola-pola yang ada saat ini di era teknologi ini sudah sangat jelas terlihat, “how to anti-plagiarism” dan menjadikan sebuah karya yang originalitas, kreatif dan tanpa embel-embel plagiat. Walaupun sebenarnya kita pun mengacu, melihat, meniru, dari keutuhan ide, karya maupun hal-hal lain di luar konteks keutuhan ide kita.

Bandung, Hujan Deras, 25 Februari 2012

Rabu, 22 Februari 2012

PUSTAKAWAN : NARSIS KOMUNITAS

Tulisan ini memang berawal dari sebuah topik yang tak lain sangat jauh dari konteks judul, sebenarnya topik yang saya ikuti adalah sebuah topik tentang “ghostwriter” dikalangan dunia tulis menulis karya ilmiah. Tapi saya berpikir kenapa setiap saya baca sebuah topik dari berbagai macam milis pustakawan, selalu saja topik itu-itu lagi yang di bahas dan yang membahasnya pun orang-orang itu lagi. Coba bayangkan, berapa banyak sekolah yang membuka jurusan ini, berapa banyak lulusan dari ilmu perpustakaan, ilmu informasi dan perpustakaan, ilmu perpustakaan dan informasi (berapa banyak lagi istilah dari jurusan keilmuan ini). Terkadang saya gelisah dan kalut dengan hal ini, kok banyak perbedaan seperti ini padahal ini satu rumpun toh?

Selain hal ini juga, kenapa selalu ada sekat (walaupun tidak terlihat jelas) antara tiap sekolah yang mengadakan rumpun ilmu ini. Dan organisasi profesinya pun bermacam-macam, ada organisasi yang menaungi kesarjanaan ilmu perpustakaan, ada organisasi yang menaungi pustakawan plat merah lah dan bla..bla..bla.. komunitasnya pun seperti itu, kadang ada komunitas pustakawan yang terkait dengan subjek. Tapi satu hal yang membuat saya tersenyum, dengan perbedaan tersebutlah maka komunitas lain menganggap kita ada.

Tapi entah mengapa, selalu saja saya ketika bertemu dan mengobrol dengan teman secara tidak sengaja (tak lain teman yang bukan kuliah di rumpun ilmu ini) mereka bertanya ada toh jurusan itu? Dalam hati, yah ada lo ajah g gaul. Tapi kenyataan memang seperti ini, kita kurang dikenal. Kenapa kita kurang dikenal? Yah apakah mungkin jawabannya adalah judul tulisan ini?

Di indonesia sendiri memang sudah menjadi realitas sendiri, bahwa terkadang pustakawan selalu bergumul dengan komunitas pustakawan lagi. Saya belum pernah melihat pustakawan bergumul secara intens dengan komunitas lain, atau malah membuat sebuah project dengan komunitas lain. Dan terkadang saya melihat pustakawan-pustakawan ini kok berasa kurang hidup atau apa memang mungkin saya baru freshgraduated dan belum benar-benar melihat gairah pustakawan-pustakawan yang memang notabene sungguh gagah berani mengkoar-koarkan semangat dan kreativitas demi mendapatkan pengakuan.

Seperti guru pun di indonesia masih belum dapat pengakuan dengan layak, bagaimana nasib pustakawan? Yah seperti itulah...begini adanya. Sebuah pengakuan, sebuah pesimistis, sebuah kegagalan tapi itu semuanya dapat memunculkan sebuah mimpi, harapan, cita dan semangat.

Bandung, malam pekat dan detik-detik terakhir..

Jumat, 17 Februari 2012

Pustakawan Seni (Penggugah Eksistensi)

Mungkin sangat familiar sekali kita dengar, apa yang disebut dengan pustakawan. yah pustakawan itu merupakan orang yang mengelola sebuah tempat yang kita namakan perpustakaan. dalam hal ini kita tidak usah berlama-lama membahsa tentang kaidah perpustakaan dan pustakawan, karena sebenarnya itu bukan merupakan hal yang akan dibahas dalam tulisan ini.

tulisan ini muncul dikarenakan saya membaca di salah satu blog. nah, dalam blog tersebut terdapat kata yang menurut saya sangat bagus malah dapat dikatakan keren. kata tersebut adalah "Pustakawan Hukum", yang dikarenakan label penamaan diikuti dengan kata hukum, dengan otomatis tersirat bahwa pustakawan hukum adalah seorang pustakawan yang lebih concern pada dunia hukum. selain itu, label penamaan ini juga mempunyai arti bahwa orang yang memiliki profesi tersebut merupakan pustakawan yang bertugas dalam sebuah perpustakaan dalam naungan lembaga hukum (*yah banyak lah lembaga hukum, dari mulai law firm sampai kementrian hukum mungkin).

Selain itu juga, dari label penamaan tersebut saya kembali mencari tentang beberapa label penamaan yang mengikuti kata pustkawan, lalu munculah beberapa label penamaan seperti halnya, Pustakawan Sekolah, Pustakawan LSM, Pustakawan Perguruan Tinggi, dan mungkin masih banyak lagi yang mungkin belum terdeteksi oleh hasil search saya.

Hampir semua pustakawan berbangga diri akan konteks pelabelan nama tersebut. Hanya saja, jiwa saya kembali tergelitik dan kembali bertanya-tanya " Apakah ada Pustakawan Seni Rupa? atau yah cukup dengan label Pustakawan Seni?"  Pertanyaan itu tidak semata-mata muncul dari sebuah imajinasi saja sebenarnya, tetapi dari sebuah pembacaan akan realitas yang ada.

Saya sempat membaca di salah satu pidato ilmiah tentang kedudukan Science, Technology, Art. Menurut pemahaman saya ketika membaca pidato ilmiah tersebut, ketiga kata tersebut merupakan sebuah pendorong bagi kemajuan dunia ini, akan tetapi kata terakhir dari ketiga kata tersebut yaitu Art merupakan penyeimbang antara Science dan Technology. Kenapa saya istilahkan dengan kata "Seimbang" karena kedua kata diawal merupakan kata yang sangat ambisius, kata yang sangat berlogika, kata yang sangat kaku. Dan mari kita lihat apa sebenarnya Seni itu? yah seni itu memiliki keindahan, kedamaian, dan beberapa sentuhan-sentuhan yang mungkin tidak dimiliki oleh Science dan Technology. Tetapi saat ini ketiga nya mulai berkolaborasi.

Nah, sekarang coba bayangkan betapa seni itu merupakan sebuah khasanah yang sangat melekat dalam kebudayaan kita dan merupakan khasanah yang membuat dunia ini seimbang. tetapi kenapa sampai saat ini perkembangan dunia profesi Kepustakawanan, belum ada yang narsis sebagai Pustakawan Seni. Padahal saya kenal dengan beberapa yang berprofesi sebagai pustakawan di lingkup dunia seni. Pustakawan di subjek ilmu lain saja bisa, kenapa Pustakawan di lingkup seni enggak???

Bandung, detik-detik akhir pencarian jati diri Pustakawan "apakah" sayah??

WARNING !!

PLAGIAT ADALAH TINDAKAN YANG BISA MENDAPATKAN SANKSI BACA SENDIRI UU RI No 19 TAHUN 2002 BAB XIII Ketentuan Pidana Pasal 72, APABILA MAU MENGOPI-PASTE TULISAN DISINI GUNAKAN SITASI YANG BAIK DAN BENAR