LIKE, Kata itu dapat diartikan “seperti” atau “menyukai” dalam bahasa indonesia. Kata itulah yang pertama kali saya baca di salah satu katalog dalam sebuah pembukaan pameran di sebuah space di salah satu bukit di kota bandung. Kembali saya memikirkan tentang karya-karya seniman yang memang dasarnya adalah sebuah seni yang memiliki originalitas tingkat tinggi, dan terkandung sebuah pemahaman yang hakiki serta makna yang sangat dalam.
Tetapi sungguh unik sekali salah satu seniman ini, beliau menjelaskan hasil karyanya merupakan sebuah metode pengadaptasian atau bahkan meniru, yang dia dorong ke permukaan dan dia jadikan sebagai bentuk kritik terhadap seni kontemporer (Ismail, 2012). Memang sangat menggelitik budaya tiru meniru, mengacu dan dalam ranah ilmiah disebut sebagai reference, apabila mengikuti berarti mengutip.
(Sumber : www.platform3.net/coming-soon.html) |
Hanya saja permasalahan yang ada adalah budaya ini dapat terlihat positif dan dapat terlihat negatif, bagaimana manusia kontemporer itu sendiri mengemasnya menjadi sebuah bahan positif maupun negatif. Karena memang pola-pola yang ada saat ini di era teknologi ini sudah sangat jelas terlihat, “how to anti-plagiarism” dan menjadikan sebuah karya yang originalitas, kreatif dan tanpa embel-embel plagiat. Walaupun sebenarnya kita pun mengacu, melihat, meniru, dari keutuhan ide, karya maupun hal-hal lain di luar konteks keutuhan ide kita.
Bandung, Hujan Deras, 25 Februari 2012